A. PENDAHULUAN
Sangat penting mempelajari sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Karena Dengan memepelajari sejarah dimasa lampau maka dapat mengambil pelajaran untuk dimasa yang akan datang dibuat perencanaan atau konsep yang lebih baik khususnya untuk da’wah di tanah air kita Indonesia.
B. AWAL PERKEMBANGAN ISLAM PASCA KEMERDEKAAN
Pada babak ini proses da’wah (Islamisasi) di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi dengan pengaruh-pengaruh gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan Islam lebih utuh yang meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah maka proses Islamisasi di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini dikarenakan awal masuknya Islam yang secara manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra (kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kota-kota yang perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar dan terkuat. Walaupun demikian Allah mentakdirkan di Indonesia merupakan jumlah peduduk muslim terbesar didunia, tetapi masih menjadi tanda tanya besar apakah kualitasnya sebanding dengan kuantitasnya.
C. PERKEMBANGAN POLTIK ISLAM PASCA KEMERDEKAAN
Politik islam dinegara Indonesia mulai berkembang saat muncul partai Serikat Islam, dan Serikat Islam merupakan partai politik pertama. Serikat Islam saat pendiriannya didukung rakyat faktor pertama karena kepemimpinan HOS Cokroaminoto. Kedua sebelum SI ada, sudah berdiri Serikat Dagang Islam yang merupakan serikat para pedagang batik muslim tokoh pendirinya yaitu H. Samanhudi. Organisasi ini sangat penting perannya bagi para pedagang muslim khususnya batik yang pada akhirnya melebur menjadi SI. Selain Serikat Islam ada pula partai Masyumi dimana dahulu NU dan Muhammadiyah pernah bersatu dalam partai politik Masyumi yang merupakan kekuatan umat Islam yang hilang, para tokoh pentingnya yaitu K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Ashari, lalu apakah yang latar belakang yang menyebabkan Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bertentangan sedangkan dahulu mereka bergabung dalam Masyumi? Sebenarnya NU dan Muhammadiyah awalnya sama saja tetapi kemudian para pendirinya melakukan ijtihad yang berbeda dan mereka memahaminya, akan tetapi kemudian ditingkat umat terjadi perdebatan-perdebatan yang sifatnya fiqhiah yang furu’ (cabang) karena pemahaman umat belum syamil (sempurna). Dimasa penjajahan organisasi-organisasi tersebut wadah ekspresi politik umat Islam dan kenyataannya membina masyarakat ketika itu dalam bidang pendidikan khususnya. Perkembangan Islam di bidang politik mulai menunjukan kemajuan yang pesat mulai tahun 1999 dengan banyak berdirinya partai-partai yang menjadikan islam sebagai asasnya, namun polemik politik yang pernah terjadi ketika dekade Pemilu 2004 misalnya, salah satu dari elemen Komisi Fatwa MUI Pusat melontarkan pernyataan “haram” memilih salah satu calon kandidat presiden. Fatwa haram juga pernah ditujukan kepada presiden perempuan dengan dalih tidak adak ada pemimpin perempuan di dalam Islam (ar-rijal qawamun ala an-nisa)
D. GLOBALISASI DAN TANTANGAN UMAT ISLAM
Ada yang paradoks dengan perkembangan umat Islam dewasa ini. Di tengah tantangan globalisasi yang memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, umat Islam cenderung terjebak dengan persoalan internalnya sendiri. Konflik yang bersumber dari persoalan furuiyah yang tidak mendasar masih terus dipelihara, korupsi, kemiskinan, keterbelakangan dan bahkan kelaparan belum ‘menjauh’ dari tubuh umat Islam.
Padahal, dunia terus bergerak maju. Globalisasi memungkinkan semua komponen masyarakat dunia menatap masa depan. Negara-negara maju terus melaju, sedangkan negara-negara berkembang lainnya terus bergerak menjadi negara industri baru. Mereka berlomba dan berpacu mewujudkan kemajuan untuk kejayaan bangsa dan kesejahteraan rakyatnya.
Namun bagaimana dengan konteks globalisasi? Apakah manusia masih dapat berpangku tangan pada kemurahan alam? Secara teoretis, alam punya keterbatasan. Abad global adalah zaman inovasi dan kreativitas, tidak hanya di bidang rekayasa teknologi tetapi juga rekayasa sosial. Rekayasa teknologi dan rekayasa sosial berjalan seiring untuk menciptakan nilai tambah atas suatu hasil alam dan kreasi manusia demi mewujudkan tujuan-tujuan kehidupan manusia yang lebih baik.
Umat Islam dengan populasi seperlima penduduk dunia apalagi Indonesia yang merupakan Negara dengan mayoritas berpenduduk beragama Islam sudah seharusnya menyadari betul fenomena zaman ini. Dulu sudah ada globalisasi, ditandai perdagangan antar kerajaan kuno, tribalisme, peperangan dan migrasi, tetapi globalisasi di zaman kita jauh berbeda. Globalisasi kali ini tidak ada persedennya dalam sejarah. Kedepan ia akan terus mengalami proses dialektika yang sistemik. Konflik dan ketegangan akan terus mewarnai proses sejarah manusia, tetapi resolusi akan terus diupayakan.
E. MASALAH UMAT ISLAM
Internal umat Islam khususnya di Indonesia saat ini masih dililit sejumlah permasalahan krusial yang bisa menggiring umat menjadi pecundang sejati di era global. Di antaranya masalah kemiskinan. Dimana masyarakat yang memeluk Agama Islam di Negara Indonesia umumnya masih dibelit kemiskinan yang bersifat struktural dan kultural sekaligus.
Umat Islam juga masih dibelit korupsi. Di antara problem krusial yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam adalah korupsi. Korupsi memang gejala mondial, seiring dengan perkembangan kapitalisme yang merusak, tetapi korupsi di negara-negara Muslim betul-betul telah bersifat destruktif. Ironisnya, terjadi pula resistensi atas gerakan antikorupsi.
Problem lainnya berkaitan dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang masih parah. Secara umum negara-negara Muslim tergolong sedang berkembang. Secara geografis, umumnya di Indonesia. Tingkat pendidikan masih memprihatinkan. Masih banyak yang buta huruf, dan masih banyak anak-anak yang putus sekolah. Angka partisipasi di dalam pendidikan masih rendah. Sulit bagi mereka bicara tantangan global, ketika sebagian besar mereka masih sibuk dengan urusan perut.
Di bidang kesehatan, negara-negara Muslim juga masih dibelit berbagai macam penyakit menular. Sementara pemerintahnya yang memiliki anggaran terbatas tidak berdaya. Apalagi sebagiannya hilang di meja-meja birokrasi. Jadi penyebab lainnya, ketidakmampuan menangani atau mengelola sektor kesehatan. Manajemen korup menyebabkan anggaran yang dialokasikan bagi peningkatan kesejahteraan warga menjadi hilang begitu saja.
Konflik yang berkepanjangan di negara-negara Muslim juga problem tersendiri. Secara umum, ini merupakan global paradox, sebagaimana dikatakan John Naisbit dan Patricia Aburden (1990), namun intensitas konflik di negara-negara Muslim sangat tidak masuk akal. Sering konflik itu terjadi antara umat Islam sendiri. Kondisi paling memperihatinkan tentu gejala terorisme, Kita paham betul bahwa saat ini penganut Islam di dunia sedang berada pada titik dimana secara keseluruhan mendapatkan stigma negatif bahwa Islam adalah agama teroris. Salah satu penyebab dari hal ini dapat kita sebut adalah sikap fanatik ekstrem yang sesungguhnya sangat bertentangan dengan Islam yang memiliki ciri sebagai agama yang moderat (ummatan wa shatan).
Tidak ada metode lain bagi umat Islam kecuali melakukan terobosan untuk keluar dari pelbagai permasalahan internalnya. Ini mengingat tantangan globalisasi bisa memunculkan dua kemungkinan tadi: menjadi pemenang atau pecundang. Konflik internal yang memelahkan harus dihentikan. Korupsi mesti diberantas karena inilah penyakit utama yang mengganjal kemajuan bangsa Islam selama ini.
Sektor pendidikan dan kesehatan jelas menjadi andalan pokok untuk bersaing di abad ke-21. Pendidikan harus digenjot habis-habisan oleh suatu kepemimpinan yang kuat, karena dalam perkembangan setiap peradaban kegiatan pendidikan mempunyai peran yang amat penting. Lebih-lebih dalam globalisasi peran pendidikan sangat menentukan bagi umat manusia. Bangsa yang tidak menjalankan pendidikan yang memadai akan tertinggal dalam proses globalisasi yang penuh persaingan antara bangsa satu dengan yang lain. Oleh sebab itu arah dan perkembangan Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang dilakukan umat Islam itu sendiri. Pendidikan mempunyai peran besar sekali untuk menimbulkan perubahan pada diri umat Islam. Melalui pendidikan dapat dibentuk kondisi mental yang lebih kondusif untuk mengembangkan kebangkitan moral-spiritual yang dikehendaki.
Kunci utama untuk memperoleh pendidikan dasar yang bermutu adalah Guru yang bermutu. Meskipun juga fasilitas pendidikan penting artinya, namun manfaat sebenarnya dari kehadiran fasilitas ditentukan oleh Guru yang bermutu. Oleh sebab itu harus selalu kita perhatikan segala segi yang berhubungan dengan pencapaian kondisi itu. Untuk itu harus ada sistem pendidikan Guru yang tepat dan baik, khususnya untuk Guru yang berfungsi sebagai Guru kelas atau Guru yang mengajarkan semua mata pelajaran. Kedua, harus ada sistem penggajian Guru yang memungkinkan seorang Guru berkonsentrasi kepada pekerjaannya di satu sekolah tertentu. Ketiga, harus diciptakan status sosial Guru yang menjadikan professi Guru terpandang dan menarik dalam masyarakat. Ketiga hal ini pada waktu sekarang belum terpenuhi di Indonesia. Oleh sebab itu boleh dikatakan bahwa pendidikan dasar di Indonesia masih amat lemah. Mungkin ada Sekolah Dasar yang baik mutunya, tetapi jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah anak didik yang semuanya harus menjalani pendidikan dasar guna kehidupan lebih lanjut. Apalagi jumlah TK masih sangat terbatas sehingga baru terjangkau oleh jumlah anak yang terbatas. Pada tingkat pendidikan dasar peran Guru sangat menonjol dibandingkan dengan fasilitas pendidikan, meskipun tidak berarti pendidikan dasar tidak memerlukan fasilitas pendidikan yang baik.
Di pendidikan menengah peran Guru maupun fasilitas pendidikan sama pentingnya. Tentu Guru di pendidikan menengah juga harus dijaga mutunya. Setiap Guru harus menguasai sekurang-kurangnya satu mata pelajaran dengan baik. Maka dari itu tetap berlaku tiga syarat bagi mutu Guru, yaitu pendidikannya, sistem penggajiannya dan status sosialnya. Di Indonesia ada SMP, SMU dan SMK yang baik, tetapi juga dalam hal ini jumlah SMP, SMU dan SMK yang baik jauh di bawah keperluan mendidik begitu banyak anak didik. Oleh sebab itu peran umat Islam untuk membangun pendidikan menengah yang baik sangat penting bagi perkembangan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Memperhatikan hal-hal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dewasa ini menghadapi kendala yang cukup sukar dan berat. Pendidikan di lingkungan keluarga masih sangat banyak memerlukan perbaikan. Pendidikan dasar dan menengah hanya mempunyai sekolah bermutu dalam jumlah terbatas, baik yang milik Pemerintah maupun Swasta, sehingga belum cukup menghasilkan lulusan yang memadai untuk pelaksanaan pendidikan tinggi yang luas dan bermutu. Selain itu sistem madrasah belum menghasilkan pendidikan umum yang setingkat dengan sistem sekolahan biasa. Hal ini membawa konsekuensi bahwa tidak mustahil ada sejumlah mahasiswa yang bermutu, tetapi mayoritas mahasiswa sebagai calon kader bangsa atau umat masih belum dapat dijamin mutunya untuk mengisi dan menjalankan aneka ragam pekerjaan dan professi yang ada dalam satu masyarakat Abad ke 21..
Hal ini semua juga berlaku bagi umat Islam yang memperjuangkan Kebangkitan Islam. Khususnya hal ini berlaku bagi umat Islam di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 170 juta orang. Jumlah yang besar itu merupakan asset bagi Kebangkitan Islam dan pertumbuhan bangsa Indonesia, kalau setiap Muslim bermutu tinggi. Akan tetapi sebaliknya kalau mutunya rendah justru menjadi satu liability atau gangguan yang amat berat. Sebab itu umat Islam Indonesia dan terutama para pemimpinnya harus mengembangkan komitmen yang sekuat-kuatnya untuk menyelenggarakan pendidikan yang sebaik-baiknya.
Oleh karena Kebangkitan Islam sekarang sudah berjalan maka pendidikan harus dibarengi dengan terbentuknya Kepemimpinan yang dapat menjalankan proses perubahan tersebut sejak sekarang. Bahkan Kepemimpinan itu sangat penting untuk menimbulkan proses pendidikan yang diperlukan.Pemimpin korup jelas tidak relevan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa. Dunia Islam juga tidak bisa lagi diamanatkan kepada pemimpim yang lemah, sekalipun dipilih secara demokratis. Yang dibutuhkan adalah pemimpin-pemimpin Muslim yang mampu mentransformasi keunggulan kompetitif, bukan lagi keunggulan komparatif. Semua negara bisa menciptakan produk yang sama, tetapi bagaimana keunggulan komparatif yang masih dipunyai negara-negara Islam bisa dikonversikan menjadi sesuatu yang dapat bersaing di era pasar global, tidak hanya dalam konteks ekonomi, tapi juga sosial, politik, dan militer.
F. SYARIAT ISLAM VERSUS IDEOLOGI PANCASILA
Edi Amin dalam buku Problematika Politik Islam di Indonesia, menjelaskan bahwa wacana negara Islam telah melahirkan kontroversi dan polarisasi intelektual di kalangan pemikir politik Islam. Apakah benar, misalnya Rasulullah pernah mendirikan atau menganjurkan negara Islam? Bukan negara suku (clannish state) seperti yang dikemukakan Ali Abdur Raziq –seorang pemikir sistem pemerintahan pada masa Raja Fuad –? Apakah institusionalisasi Islam dalam bentuk negara merupakan kewajiban Islam merupakan suatu syariat ataukah semata-mata kebutuhan rasional seperti yang diterorikan Ibnu Khaldun?
Untuk menjawab persoalan itu, sesuai dengan realitas politik di Indonesia, maka garis besarnya terdapat dua kekuatan dalam memandang Islam dan negara. Pertama, kaum substansialis, yang memiliki pokok-pokok pandangan (a) bahwa substansi atau kandungan iman dan amal lebih penting daripada bentuknya, (b) pesan-pesan Alquran dan Hadits, yang bersifat abadi dalam esensinya dan universal dalam maknanya, harus ditafsirkan kembali oleh masing-masing generasi kaum muslim sesuai dengan kondisi sosial pada masa mereka, dan (c) mereka menerima struktur pemerintahan yang ada sekarang sebagai bentuk negara Indonesia yang final. Kedua, kaum skripturalis, mereka berpandangan: (a) pesan-pesan agama sebagian besarnya sudah jelas termaktub dalam Alquran dan Hadits, (b) dan hanya perlu diterapkan dalam kehidupan. Karena itu, mereka cenderung lebih berorientasi kepada syariat. Syariat Islam sebagai versus ideologi Pancasila – yang dalam pandangan tertentu dianggap sekuler – kembali diperdebatkan. Perdebatan bermuara pada satu tema besar: “Formalisasi Syariat Islam”, yang kemudian melahirkan dua kubu yang saling bertolak belakang; kubu Islamisme yang pro Syariat Islam dan kubu nasionalis yang menolak formalisasi Syariat Islam. Perdebatan semacam ini sesungguhnya bukan perdebatan baru dalam perjalanan sejarah Indonesia. Tuntutan formalisasi Syariat Islam yang beberapa waktu terakhir kembali mencuat boleh dikatakan sebagai sisa sejarah yang pernah muncul diawal kemerdekaan Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bersama, sejarah Piagam Jakarta merupakan momentum paling mencekam yang pernah dihadapi bangsa ini terkait formalisasi Syariat Islam atau Islam sebagai dasar Negara. Penggunaan tujuh kata pada pembukaan undang-undang dasar 1945 pernah mewarnai sejarah awal kemerdekaan Indonesia. konon, penggunaan tujuh kata “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” disetujui oleh Soekarno, namun penggunaan tujuh kata tersebut dihilangkan ketika pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, karena mempertimbangkan adanya pihak yang keberatan (mewakili Indonesia bagian timur) jika tujuh kata tersebut dimasukkan ke dalam pembukaan undang-undang dasar 1945. Ironisnya, pristiwa penghapusan tujuh kata pada pembukaan undang-undang dasar 1945 belakangan dinilai sebagai “pengkhianatan sejarah” terhadap umat Islam.
Sejumlah pemberontakan pasca kemerdekaan untuk mewujudkan negara yang berdasrkan Syariat Islam tak kunjung dapat dihindari. Pemberontakan NII oleh Karto Suwiryo dan Abdul Kahar Mudzakar di Sulawesi, atau DITII Daud Beureuh di Aceh, menjadi bukti nyata adanya pihak-pihak yang kecewa dengan hasil rumusan para founding father dengan memilih Pancasila sebagai dasar negara. Secara politis, demi mempertahankan keutuhan NKRI, sejumlah pemberontakan tersebut harus diatasi oleh penguasa negara dan membuahkan hasil yang tidak percuma, karena pada akhirnya kekuatan pemerintahan Indonesia mampu membumihanguskan gerakan pemberontakan kelompok-kelompok tersebut. Akan tetapi, dengan terhentinya pemberontakan yang bersifat aksidental dari beberapa kelompok tersebut tidak berarti perjuangan untuk mewujudkan Islam sebagai dasar negara berhenti sampai di situ. Upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara kali ini mengalami pergeseran paradigma dari gerakan sparatis menjadi wacana diplomatis yang dipertaruhkan dalam arena politik kekuasaan.
Meskipun tidak dapat diklaim sebagai upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara, upaya formalisasi Syariat Islam melalui kebijakan politik setidaknya dapat dipahami sebagai aksi menuju ke arah itu. Kemunculan sejumlah perda syariat yang menjadi tuntutan beberapa daerah pada tahun 2006 lalu merupakan fakta kongkrit dari keberhasilan upaya sejumlah elit politik yang mentolerir Syariat Islam sebgai hukum normatif menjadi hukum positif. Apa yang salah dengan Pancasila sehingga manifestasi keberagamaan (dalam hal ini Islam) harus diwujudkan melalui Perda?, ini menjadi pertanyaan penting yang harus kita jawab bersama.
“kalau kita disuruh sholat dan puasa karena perintah Bupati, lalu tidak bayar zakat masuk penjara, bagaimana itu?” justru hal itu akan mereduksi umat Islam itu sendiri. Penegasan ini cukup berdasar, sebab Pancasila dan undang-undang dasar tidak menutup diri bagi kebebasan memeluk agama dan keyakinan oleh siapapun, sehingga tanpa Perda sekalipun syariat Islam tatap dapat dijalankan. Bahkan lebih dari itu, tanpa harus memasukkan ideologi Islam (dalam hal ini syariat) ke dalam sistem hukum positif, sesungguhnya umat Islam di negeri ini dapat diposisikan sebagai “anak kandung” dibandingkan umat beragama lainnya. Hampir setiap kebijakan pemerintah tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang kerap dianggap sebagai nilai Islam.
Dalam sepanjang sejarah umat manusia, paling tidak ada dua pandangan mengenai hal posisi agama dan negara, yaitu teokrasi atau negara agama dengan menjadikan gama tertentu sebagai dasar negara, dan pandangan sekuler yang memisahkan negara dengan agama sebagai wilayah private. Dari kedua pandangan ini, pada posisi mana Indonesia dapat diletakkan?.
Beberapa kalangan memandang Pancasila sebagai ideologi sekuler, dan pandangan ini membawa implikasi bahwa Indonesia merupakan negara sekuler. Namun demikian, sebagian yang lain memandang Pancasila bukan merupakan ideologi sekuler dan bukan pula ideologi agama, akan tetapi ideologi ini mencerminkan semangat religius. Sila Ketuhanan yang Maha Esa merupakan apresiasi terhadap setiap agama dan keyakinan yang diakui di Indonesia dan menunjukkan bahwa negeri ini dibangun di atas dasar semangat religius. Dengan demikian, pandangan bahwa Pancasila merupakan ideologi sekuler – jika sekuler dimaknai sebagai pemisahan antara agama dengan negara – menjadi terbantah. Salah satu bukti kongkrit bahwa Pancasila bukan merupakan ideologi sekuler adalah diizinkannya beberapa partai politik yang berideologikan agama tertentu masuk pada arena pertarungan politik di Indonesia.
Jika Pancasila merupakan model yang terpisah dari teokrasi maupun sekuler, maka model relasi antara agama dengan negara dapatlah ditambah menjadi satu model lagi, yaitu ideologi yang tidak sekuler dan tidak pula teokrasi, atau mungkin kita dapat menyebutnya sebagai ideologi Pancasila. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: “bagaimana model relasi agama dengan negara pada ideologi Pancasila?”.
Jika kita berbicara pada tataran yang ideal (dasolen) untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan di atas, maka jawaban yang dapat diajukan adalah, bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) harus memberikan pelayanan yang sama kepada seluruh agama yang ada, tidak berpihak kepada salah satu agama (netral) dan tidak terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan masayarakat yang bersifat internal. Selain itu, agama pada ideologi Pancasila juga dapat berfungsi – sebagaimana yang disebutkan Ollaf Schumann – untuk membina watak penguasa. Agama dalam hal ini, harus mampu menjadi institusi untuk melahirkan calon-calon pemimpin yang arif dan bijaksana. Sehingga dengan semangat agama, tentunya tidak akan ada lagi penguasa yang lalim maupun wakil rakyat yang korupsi di atas penderitaan rakyat.
G. PENUTUP
Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara.
Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja karena generasi muda saat ini adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah. Karena generasi saat ini adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena itu genersi saat ini mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Dan untuk memasuki perkembangan global dibutuhkan kekuatan secara hegemoni subtansial serta saatnya umat Islam di seluruh dunia khususnya Indonesia harus mampu menjadi teladan akan kemoderasiannya. Allah s.w.t. menegaskan bahwa umat Islam adalah ummatan washatan (umat pertengahan), umat moderat. Semua ini harus diperjuangkan demi tercapainya kembali kejayaan umat Islam sebagai janji dari apa yang dijelaskan oleh Rasulullah bahwa akan tiba suatu masa dimana Islam kembali dipimpin oleh penguasa yang adil sesuai dengan manhajnya.
cat:
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar