Sabtu, 06 Maret 2010

QIYAS

QIYAS

I.PENDAHULUAN
Islam di tengah – tengah kemajuan segala bidang sebagai hasil dari cipta, rasa serta karya dari manusia sekarang ini di tuntut akan eksistensinya di dalam memenuhi perkembangan pengetahuan dan teknologi. Sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi dan bahkan politik ikut mempengaruhi terjadinya perubahan hukum Islam. Hukum Islam bukanlah unifikasi yang baku yang sudah tidak bisa di interpretasikan, melainkan sebagai kekuatan normatif yang selalu menjadikan, menempatkan, memperlakukan atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai substansi dari posisi fleksibilitasnya (flexible – position), selama demikian ini tidak berorientasi mengorbankan keluhuran hukum Islam. Oleh karena itu interpretasi terhadap perkembangan iptek serta problema umat dalam realitas sosial kemasyarakatan dalam perspektif hukum islam merupakan keperluan yang tidak dapat ditwar – tawar lagi.
Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut.
Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur'an , b). al-Sunah dan C). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas  atau lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah).
Permasalahan qiyas  dalam eksistensinya sebagai salah satu sumber hukum Islam dalam lapangan ilmu hukum menjadi salah satu sebab dari berbagai macam sebab lainnya yang menimbulkan silang pendapat atau perselisihan diantara para ulama. Madzhab Syi’ah Imamiyah dan madzhab Daud al-Dzahiri tidak mau mengakui qiyas  apalagi menerima atau menggunakannya. Sedang di kalangan ulama – ulama lainnya seperti ulama jumhur dan madzhab Syi’ah zaidiyah menerimanya sebagai dalil hukum syari’at.

II.QIYAS
A.Definisinya
a.   Menurut bahasa
Qiyas secara bahasa memiliki beberapa makna. Yang paling dekat kepada maknanya secara istilah adalah :
1)   Pengukuran. Contohnya : قِسْتُ الأرْضَ بِالْمِتْر   (Saya mengukur tanah itu dengan satuy meter).
2)   Penyamaan, baik yang secara indrawi, seperti : قِسْتُ النَّعْلَ بِالنَّعْلِ   (Saya menyamakan sandal itu dengan sandal itu) atau secara maknawiyah, seperti : فُلانٌ لاَ يُقَاسُ بِفُلانٍ   (orang itu tidak dapat disamkan dengan orang itu).
 
b.   Menurut istilah
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari'ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyâs adalah :"Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja".
Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan 'illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.

Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyâs dengan : "Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.".

DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyâs dengan: "Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya".

Biarpun terjadi perbedaan definisi terminologi antara ulama klasik dan kontemporer tentang qiyâs, namun mereka sepakat bahwa qiyâs adalah "al-Kasyf wa al-Idzhâr li al-Hukm" atau menyingkapkan dan menampakkan hukum, bukan menetapkan hukum ataupun menciptakan hukum. Karena pada dasarnya al-maqîs atau sesuatu yang dikiaskan, sudah mempunyai hukum yang tetap atau tsâbit, hanya saja terlambat penyingkapanya sampai mujtahid menemukannya dengan perantara adanya persamaan "illah. Atau dengan kata lain definisi yang paling jelas dan mudah untuk dipahami, yaitu : penyamaan suatu kejadian yang tidak disebutkan nash hukumnya dengan suatu kejadian yang disebutkan nash hukumnya pada hukum yang telah dinashkan itu karena adanya kesamaan antara dua buah kejadian itu pada illat hukumnya”.



B.Rukun Qiyas

Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyâs dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan),[6] juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu'[7] mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyâs dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan.[8] Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyâs, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.
b.  Hukmu al-ashli
Atau hukum asli; adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu..
c.  Al-far'u
Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.
d.   Al-'illah
Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u, seperti "al-iskâr".[9]

C. Syarat Qiyâs
Dari empat rukun qiyâs yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyâs, di antaranya adalah:
1.   Syarat al-Ashlu
Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.[11]
Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyâs harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma', hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyâs yang didasarkan atas ijma'. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyâs didasarkan dari 'illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma', karena ijma' tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far'u). Maka apabila tidak disebutkan al-far'u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui 'illah qiyâs-nya.[12]

2)   Syarat hukmul ashli
       a) hukmul ashli harus merupakan hukum syara yang amaliyah
         b)  Jika hukum itu adalah dapat dimasukkan ke dalam logika, yaitu dengan syarat hukum itu dibangun di atas sebuah illat yang dapat diketahui oleh akal manusia, karena itu qiyas itu tidak boleh digunakan pada hukum-hukum yang bersifat ibadah murni (mahdlah) yang illatnya hanya diketahui oleh Allah saja, seperti jumlah rakata’at-raka’at shalat.
         c)    Hukum adal itu tidak hanya khusus baginya saja. Karena kekhususan itu menjadikannya tidak boleh diperluas kepada yang lainnya. Contohnya adalah pengkhususan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menikah dengan lebih dari empat wanita dan pengharaman menikahi para istrinya sepeninggalnya.
 
3)   Syarat cabang
                                a)  cabang itu tidak disebutkan nash hukumnya
b) illat hukum asal itu ada pada cabang itu.
c) cabang tidak lebih dulu dari ashal

4.) Syarat ’illat:
a. yaitu harus berupa suatu sifat yang tunduk pada satu kaidah, maksudnya adalah sifat itu jelas, tidak berbeda dari manusia yang satu kepada yang lainnya dan dari situasi dan kondisi yang satu kepada yang lainnya. Contohnya adalah pembunuhan sebagai illat seorang pembunuh tidak mendapatkan warisan.
b.Illat itu harus berupa sifat yang dapat diperluas, maksudnya adalah sifat itu tidak hanya khusus bagi asal saja. Karena dasar qiyas adalah kesamaan cabang dengan asal pada illat hukum. Contoh illat yang terbatas adalah safar sebagai illat kebolehan berbuka puasa bagi orang yang bepergian. Illat itu tidak dapat diperluas kepada pekerja pertambangan misalnya, walaupun dia harus menanggung kesulitan yang besar.
c.Illat itu harus berupa sifat-sifat yang tidak dinafikan oleh syari’at, yaitu bahwa kadang-kadang suatu sifat itu cocok bagi suatu hukum, tetapi sifat itu sebenarnya bertentangan dengan nash dan berlawanan dengan dalil syari’at. Maka sifat itu tidak dapat dianggap sebagai illat. Contohnya adalah penyamaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam pewarisan berdasarkan illatnya sebagai anak. Ini adalah salah. Karena syari’at menafikan sifat yang diusulkan ini berdasarkan firman Allah : يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ  (Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan). (An Nisa’ : 11)
d.    Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hukum

D.Pembagian Illat
1.Berdasarkan pengi’tibarannya
a)   Al Munasib Al Mu’atsir (Yang sesuai yang berpengaruh)
Yaitu suatu sifat yang ditunjukkan oleh syari’at seacra tegas sebagai illat
b)  Al Munasib Al Mula’im (Yang sesuai yang cocok)
Yaitu sebuah sifat yang tidak disebutkan oleh dalil syari’at dengan tegas sebagai illat hukum. Tetapi ada dalil syari’at yang lain, baik berupa nash atau ijmak yang menunjukkanya sebagai illat, bukan sebagai hukum.
c)   Al Munasib Al Mursal (Al Mashlahah Al Mursalah).
Yaitu sebuah sifat yang tidak ditunjukkan oleh nash yang khusus, baik yang menetapkannya atau yang meniadakannya. Tetapi pembentukan hukum atas sifat itu dapat mewujudkan adanya kemashlahatan yang ditunjukkan oleh syari’at yang umum secara global.
d)Al-munasib mulgha
Sesuatu yang sepintas lalu menimbulkan prasangka bahwa hal tersebut menimbulkan hikmah akan tetapi ada dalil syara yang menjelaskan bahwa munasib tersebut diakui syra dan dilarang syara.
 
2.Berdasarkan kemashlahatannya
a.)dharuriy
b.)hajiy
c.)kamaliyat atau tahsiniyat


E. Cara Mengetahui Illat
a.    melalui jalur nash
1)  Penunjukan yang jelas atas suatu illat
a)    Penunjukan yang bersifat qath’i (tegas)
b)   Penunjukkan yang dzanni (dugaan)
2)  Penunjukkan yang bersifat pemberitahuan dan isyarat
 b.    melalui jalur ijmak
c.    As Sabr wat Taqsim
                                
F. Perbedaan AntaraHikmah Hukum dan Hikmah Illat
a.    Hikmah hukum
                                 1)    Definisinya
Yaitu kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan kemudlaratan yang hendak diwujudkan oleh syari’at dengan mensyari’atkan hukum itu. Itu adalah merupakan tujuan dari syari’at yang paling agung.
                                 2)     Ciri-cirinya
a)   tidak bergantung kepada hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Hal itu adalah kerena hikmah itu kadang-kadang berupa sesutau yang samar yang sulit untuk diketahui dan tidak dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah hukum.
b) Tidak terkontrol, dalam pengertian bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam kaidah-kaidahnya. Contohnya adalah seperti kebolehan berbuka puasa pada Bulan ramadlan. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kesulitan. Sedangkan kesulitan itu adalah sesuatu yang bersifat perkiraan yang tidak dapat dijelaskan kaidahnya. Karena itulah hukum itu tidak bergantung kepadanya. Tetapi bergantung kepada seautu yang jelas, yaitu bepergian (safar) atau sakit, karena jelasnya nash tentangnya.
                                 3)    Dalilnya
Firman Allah : وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  (Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa). (Al baqqoroh : 179)
 
b.    Illat hukum
1)    Definisinya
Yaitu suatu sifat yang jelas yang berada dibawah suatu kaidah yang merupakan dasar dibangunnya suatu hukum dan ada atau tidaknya hukum itu tergantung kepadanya.
  2)  Ciri-cirinya
a)  illat itu berkaitan dengan hukum, baik ada atau tidak adanya hukum itu. Karena keterkaitan hukum dengan hikmah itu mengandung dugaan untuk mewujudkan hikmah dari hukum itu.
b)  Mengaitkan antara illat dengan  hukum itu mengakibatkan kepada konsistennya taklif, menjaga hukum-hukum syari’at dan perinta-perintah syari’at yang umum.





http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad#Qiy.C3.A2s
http://nurulwatoni.tripod.com/Qiyas_Ibnu_Hazm.htm
http://www.wattpad.com/147913-qiyas-dalam-islam
http://forum.nu.or.id/viewtopic.php?f=4&t=1786
http://imamuna.wordpress.com/2009/03/18/pelajaran-keenam-%E2%80%93-ushul-fiqih/
http://imamuna.wordpress.com/2009/03/18/pelajaran-ketujuh-%E2%80%93-ushul-fiqih/

Tidak ada komentar: